Rabu, 05 Januari 2011

JEJAK ISLAM DI KERATON JOGJAKARTA

Yogyakarta atau sering disebut dengan Jogja sejak dulu dikenal sebagai kota pendidikan disamping sebagai kota gudeg. Hal ini nampak setidaknya dari keberadaan dua perguruan tinggi tertua di Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia. Namun, jika kita coba buka-buka catatan sejarah tentang Jogja. Ternyata Yogyakarta sebagai salah satu Daerah Istimewa di Indonesia, dibaliknya menyimpan banyak bukti keagungan Islam yang begitu agung namun sayang sering luput dari perhatian banyak orang. Bahkan adanya keraton Yogyakarta sesungguhnya merupakan salah satu bukti peninggalan yang menunjukkan besarnya pengaruh Islam di bumi Ngayogyakarta kala itu.

Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu kerajaan Demak di pindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, dan setelah Pajang jatuh kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi” (artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.

Sebagai tambahan. Bahwa dalam catatan para sejarawan. Pada abad ke-8 Yogyakarta dan sekitarnya merupakan pusat kerajaan Mataram dengan sebutan Rajya Medang I Bhumi Mataram atau kerajaan Medang dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini sempat pindah ke Jawa Timur pada abad 10 sebelum akhirnya runtuhnya pada awal abad 11. Agama yang dianut oleh kerajaan ini adalah Hindu. Oleh karenanya, untuk membedakan antara kerajaan Mataram abad 8 dan Mataram abad 16, maka ahli sejarah sering menyebutnya dengan kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno) dan kerajaan Mataram Islam.

Baik, kita lanjutkan perbincangan tentang kesultanan Yogyakarta ini. Berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani oleh Sunan Paku Buwana III serta Nicolaas Hartingh di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain, Kerajaan Mataram dibagi dua. Yaitu Kasunanan Surakarta yang di pimpin oleh Sunan Paku Buwono III sebagai rajanya dan Kesultanan Ngayoyakarta dimana Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I sebagai rajanya. Jika diamati dari sumber sejarah yang ada, akan terlihat bahwa perpecahan yang terjadi sesungguhnya merupakan strategi Belanda (VOC) untuk memecah belah kesultanan Islam saat itu, yaitu dengan mengangkat Pakubuwana I atau Pangeran Puger ((1704-1719) menjadi raja karena ketidaksukaannya pada raja Amangkurat III (1703-1708) yang saat itu berkuasa yang menentang VOC. Akibatnya Mataram memiliki dua raja yang akhirnya memicu perpecahan internal dan muncullah perjanjian Giyanti, yang sekaligus menandai runtuhnya era Kesultanan Mataram Islam sebagai kesatuan politik dan wilayah.

Jejak Islam Dalam Kehidupan Masyarakat Jogja
Tidak mudah untuk melacak jejak Islam yang telah dijalankan di wilayah Jogja karena keterbatasan catatan sejarah yang ada. Meski begitu kita akan coba menyusurinya melalui berbagai peninggalan Islam yang ada di Kraton Yogyakarta sebagai representasi kesultanan Mataram Islam saat itu.

Jogja seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma, Ksatria, Waisya dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda menyertai interaksi diantara mereka.

Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan di masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said) merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dengan kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M), juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah kesultanan Mataram di Yogyakarta.

Mengutip catatan Adaby Darban, dalam “Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah”. Pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I), dibangunlah keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol eksistensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda. Sebagaimana kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, di setiap keraton memiliki masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam membangun kebudayaan Islam termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan dengan para bawahannya dan masyarakat umum.

Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid yang diberi nama “Al-Mahkamah Al-Kabirah”, yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan ijab kabul, disamping tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.

Secara filosofis bangunan kota, keberadaan masjid merupakan bagian dari empat unsur yang pasti dimiliki oleh kerajaan Islam, yaitu : istana keraton, alun-alun, satu atau dua pohon beringin dan masjid yang membelakangi gunung dan menghadap laut dengan masjid di sisi Baratnya. Hal ini memiliki makna Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur. Alun-alun (berasal dari bahasa Arab, allaun yang artinya banyak macam atau warna) merupakan tempat yang di-setting sebagai tempat pertemuan rakyat dan penguasa. Adapun beringin, diambil dari kata waringin (bahasa Jawa baru) yang diserap dari bahasa Arab waraa’in yang artinya orang yang berhati-hati. Berjumlah dua merupakan perlambang sumber syariat Islam : Al Qur’an dan Hadits.

Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasehat Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi kerajaan. Mereka adalah orang-orang ‘alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Diantaranya adalah pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid maupun langgar-langgar proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka di dikirim ke Pondok Pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng, dan Gontor yang sepulangnya dari sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di keraton Yogyakarta. Hal ini menggambarkan bagaimana peran kerajaan (tepatnya kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.

Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang Islami. Disinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah– memberikan andil yang begitu besar. Maka hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah di Islamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga kini. Wayang sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Dimana wayang yang sudah ada sejak kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.

Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada perayaan Maulud Nabi di masjid Agung. Sedangkan grebeg yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara menghantarkan sultan dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulud Nabi Muhammad saw yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal istana lengkap dengan nasi gunungannya.

Begitulah kira-kira sekilas catatan sejarah yang menggambarkan jejak-jejak Islam di bumi Yogyakarta, yang mungkin telah menguap dari memori kaum muslimin. Ini juga sekaligus menjadi bukti bahwa keberadaan kesultanan-kesultanan di Indonesia termasuk Yogyakarta memiliki hubungan historis dengan keberadaan khilafah Islamiyah yang menjadi representasi kekuasaan Islam di dunia kala itu. Terlepas dari masih banyaknya percampuran antara budaya Islam dengan budaya jawa kuno yang masih nampak hingga kini, yang jelas kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu bukti otentik bahwa umat Islam Indonesia merupakan bagian dari umat Islam dunia sejak dahulu kala. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar