Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar merasa yakin banyak orang belum memahami substansi draft RUUK DIY. Bila mereka telah membaca, kata Patrialis, mereka akan paham bahwa pemerintah menempatkan keistimewaan Yogya pada posisi yang istimewa.
"Banyak orang belum mendapat info secara genuine," kata Patrialis saat ditanya soal hasil sidang DPRD DIY di Gedung DPR, Jakarta Selasa 14 Desember 2010.
Menurut Patrialis banyak orang menyikapi rencana draft RUUK DIY hanya melihat dari kulit lalu berkomentar. "Komentarnya juga kebanyakan provokasi. Pemerintah justru memberi keistimewaan yang berdasarkan sistem kukuh dan kuat," kata dia.
Lalu, apa saja keistimewaan dalam isi draft RUUK DIY? Inilah beberapa keistimewaan yang diungkapkan Patrialis:
a. Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam bertahta, walaupun tidak menjadi gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap jadi orang nomor satu dan kedua di Yogya.
b. Pemerintah Daerah yang terpilih harus meminta persetujuan apapun ke Sultan terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam menyusun anggaran pun harus meminta persetujuan Sultan.
c. Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur, maka pencalonan itu bersifat perorangan, tanpa melalui partai politik.
d. Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri, maka kerabat Keraton lainnya tidak boleh mencalonkan diri.
e. Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD tidak akan lagi melakukan pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka langsung dikukuhkan menjadi gubernur dan wakil gubernur.
f. Jika tidak terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku Alam adalah gubernur utama dan wakil gubernur utama. Posisi ini berada di atas gubernur/kepala daerah. Apapun kebijakan kepala daerah harus meminta persetujuan pada gubernur utama (Sultan) dan wakil gubernur utama (Paku Alam).
"Pokoknya, percayalah Yogya akan mendapat keistimewaan yang istimewa," kata Patrialis. Dengan draft di atas, pemerintah, kata Patrialis, justru menempatkan Sultan dan Paku Alam pada posisi tahta yang segala-galanya di Yogya.
Saat ini draft RUUK DIY tersebut sudah siap dan berada di Sekretariat Negara. Dia yakin dalam waktu dekat RUUK tersebut akan segera dikirim ke DPR.
living in my own world
Rabu, 05 Januari 2011
OTONOMI KHUSUS DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Pendahuluan
Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan Hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam praktek hukum internasional dijabarkan dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Rumusan pasal 1 dari kedua kovenan ini ditujukan pada:
1. Masyarakat yang telah mendapatkan kemerdekaannya
2. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang berlum mendapat kemerdekaan
3. Masyarakat yang tinggal di sebuah negara yang berada di bawah pendudukan militer asing.
Istilah otonomi sendiri muncul dalam berbagai konteks hukum. Dalam hukum nasional otonomi adalah bagian dari pemerintahan sendiri dari sebuah institusi dan organisasi publik. Dalam hak ini termasuk kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya sendiri melalui pengesahan sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi berarti bahwa sebagian dari wilayah suatu negara diberikan kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara mengesahkan suatu undang-undang tanpa diikuti pembentukan usatu bangunan kenegaraan yang baru[1]. Menurut Lapidoth yang dikutip oleh Hans-Joachim Hentze terdapat beberapa konsep dari otonomi dalam konstruksi hukum yaitu :
1. as a right to act upon one’s own discretion in certain matters;
2. as a synonym of independence
3. as a synonym of decentralization
4. as exclusive powers of legislation, administration, and adjudication in specific areas of an autonomous entity
Secara prinsip, otonomi diberikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal-self government), sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerinthan pusat. Kemerdekaan ini hanya dapat ditetntukan melalui tingkatan otonomi dalam proses pengambilan keputusan politik.
Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori yaitu:
1. Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain
2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing
3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, social, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.
Adanya daerah otonomi dalam suatu negara (a self-governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyeleisan konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat utnuk menciptakan daerah otonomi sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government[2]. Untuk itu daerah otonomi harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya dalam suatu negara
Isi Dari Otonomi
Otonomi dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan konstruksi hukum antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui pengalihan kekuasaan legislative dari organ nefara kepada lembaga dari daerah otonomi tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu tertentu yang penting antara lain:
1. Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut
2. Daerah otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang mandiri
3. Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidkan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi
4. Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional
5. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
6. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah otonomi
7. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya[3]
Hukum Internasional memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan secara konstitusional dalam suatu negara dalam hal bentuk betuk sub sovereign status atau otonomi.
Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung
1. DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri
2. Kepala pemerintahan yang dipilih
3. Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan lokal
4. Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan pemerintah pusat[4]
Suatu wilayah otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangkan norma dasar dari suatu negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
Yogyakarta, Otonomi Khusus, dan Praktek Indonesia
Dalam konteks Indonesia, daerah otonomi khusus diatur dalam Pasal 18 B ayat (1) Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan:
PasaI 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan pengaturan baru ini, ada dua daerah (propinsi) yang diakui kekhususannya berkaitan dengan faktor sejarah ataupun politik, diantaranya adalah Papua melalui UU No 21 tahun 2001 dan Aceh melalui UU No 11 tahun 2006. Namun ada perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi khusus yang diperoleh oleh dua propinsi ini, sifat otonomi khusus untuk Papua lebih merupakan tindakan sepihak dari pemerintah pusat sementara untuk Aceh adalah buah kesepakatan dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kedua provinsi ini mendapatkan status otonomi khusus dengan sejarah panjang melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat yang otoriter.
Dalam Konteks Yogyakarta, adalah sebuah keistimewaan karena Yogyakarta secara sepihak menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Sesudah itu Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkembangan Keistimewaan Yogyakarta
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah menjadi UU No 19 Tahun 1950. Pemerintah DI Yogyakarta berdasarkan UU tersebut menikmati kewenangan antara lain:
1. Urusan Umum
2. Pemerintahan Umum.
3. Agraria.
4. Pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.
5. Pertanian, Perikanan dan koperasi.
6. Kehewanan.
7. Keradjinan, perdagangan dalam negeri dan perindustrian.
8. Perburuhan.
9. Sosial.
10. Pembagian (Distribusi).
11. Penerangan.
12. Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan
13. Kesehatan.
14. Lalu lintas dan angkutan bermotor.
15. Perusahaan.
Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini tidak tampak berbagai kewenangan khusus seperti yang telah dijabarkan oleh Hurst Hannum maupun oleh Lauri Hannikainen. Meski demikian sudah tampak berbagai kewenangan eksklusif dari Pemerintah DI Yogyakarta
Yang cukup menarik bahwa kedudukan penguasa kerajaan di Yogyakarta justru tidak diatur oleh kedua UU ini, secara politis ini berarti Pemerintah Pusat mengakui keduanya sebagai Penguasa dari DI Yogyakarta. Namun, dengan tidak adanya penjelasan secara hukum tentang posisi keduanya ini yang kemudian rentan dalam penafsiran tentang siapa yang berhak menduduki posisi eksekutif dalam pemerintahan di Yogyakarta. Dilema ini sudah muncul sejak meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DI Yogyakarta.
Dilema dari posisi dan keistimewaan dari Yogyakarta ini dicoba dijawab melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta yang dirancang oleh DPRD DI Yogyakarta. Untuk itu penting untuk melihat kewenangan yang digagas dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta ini.
No | Isi Otonomi | Pengaturan |
1 | Status Daerah Otonomi | Diatur melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta |
2 | Status dan Kewenangan DPRD | Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan eksklusif |
3 | Peradilan dan penegakan hukum | Diatur melalui UU nasional yang berlaku; tidak mempunyai kewenangan eksklusif |
4 | Perpajakan | Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif |
5 | Kerjasama Internasional | -; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif |
6 | Kewenangan Eksklusif | Pertanahan, Budaya serta kewenangan lain yang telah diatur melalui UU Otonomi Daerah |
7 | Pembagian Keuangan | Diatur melalui UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif |
8 | Kepala Eksekutif | Penetapan oleh DPRD Propinsi: hanya Sultan/Pakualam dan/atau kerabatnya yang berhak menduduki posisi eksekutif |
Dari sisi pengaturan otonomi, tidak tampak adanya perbedaan antara keistimewaan yang akan dipunyai oleh Yogyakarta dengan otonomi yang dinikmati oleh propinsi yang lain yang tidak berstatus istimewa. Hal ini berbeda dengan status yang saat ini dinikmati oleh Aceh dan Papua. Keistimewaan Yogyakarta hanya tampak pada pengisian posisi kepala dan wakil kepala eksekutif di Yogyakarta yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam dan/atau kerabat kerajaan dan juga kewenangan di bidang pertanahan (yang dikenal dengan sultan grond) dan juga budaya.
Dari sisi hukum akan sangat sayang apabila keistimewaan Yogyakarta hanya istimewa di tiga isu tersebut, karena sangat banyak kekhasan yang bisa diatur melalui UU Keistimewaan Yogyakarta. RUU Keistimewaan Yogyakarta dapat dinyatakan sebagai low degree of autonomy
KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA TERANCAM HILANG
ika Sri Sultan Hamengku Buwono X benar-benar mundur dari posisi sebagai Gubernur DIY, keistimewaan Yogyakarta terancam hilang.
"Sementara belum ada kejelasan siapa penggantinya, apakah dari trah (kerabat) kesultanan atau tokoh dari luar kraton," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Priyo Budi Santoso, di Jakarta, Jumat.
Dia mengungkapkan ini, menanggapi sebuah pernyataan mengejutkan dari Sri Sultan yang kemungkinan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Atas pernyataan ini, Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Dr Subadi Sumanto dan warga bereaksi kencang, dengan menganggap, tanpa Sultan disertai kewenangan politik serta pemerintahan, fungsi pengayom rakyat hilang, begitu juga keistimewaan Yogya amblas.
Priyo Budi Santoso agak sependapat dengan kekhawatiran warga di sana.
"Betul itu. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta akan punah, kalau Sultan benar-benar mundur dari posisi sekarang ini, sementara belum ada kejelasan siapa penggantinya," katanya.
Karena itu, Priyo Budi Santoso mengusulkan, agar Undang Undang (UU) tentang Yogyakarta perlu segera dirumuskan, guna memberi payung hukum serta politik terhadap status serta posisinya ke depan.
"Sementara belum ada kejelasan siapa penggantinya, apakah dari trah (kerabat) kesultanan atau tokoh dari luar kraton," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Priyo Budi Santoso, di Jakarta, Jumat.
Dia mengungkapkan ini, menanggapi sebuah pernyataan mengejutkan dari Sri Sultan yang kemungkinan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Atas pernyataan ini, Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Dr Subadi Sumanto dan warga bereaksi kencang, dengan menganggap, tanpa Sultan disertai kewenangan politik serta pemerintahan, fungsi pengayom rakyat hilang, begitu juga keistimewaan Yogya amblas.
Priyo Budi Santoso agak sependapat dengan kekhawatiran warga di sana.
"Betul itu. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta akan punah, kalau Sultan benar-benar mundur dari posisi sekarang ini, sementara belum ada kejelasan siapa penggantinya," katanya.
Karena itu, Priyo Budi Santoso mengusulkan, agar Undang Undang (UU) tentang Yogyakarta perlu segera dirumuskan, guna memberi payung hukum serta politik terhadap status serta posisinya ke depan.
MITOS KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA
okefood | okeklasika | myzone | okezone.tv | dahsyat | photo | suar | surat pembaca | okeinfo | Natal & Tahun Baru
Kamis, 06 Januari 2011 | 11:26:01
Nasional
Inilah Mitos Keistimewaan Yogyakarta
Kamis, 2 Desember 2010 - 08:05 wib
Dadan Muhammad Ramdan - Okezone
Ilustrasi (Ist)
JAKARTA - Yogyakarta memang berbeda dan istimewa dari daerah-daerahnya lainnya di Indonesia. Yogyakarta dengan segala keistimewaan dan kekhasannya itu, sebenarnya tidak hanya menyangkut tahta Sri Sultan Hamengkubuwono X seumur hidup dan merangkap kepala pemerintahan daerah. Kini posisi itu berpolemik menyusul penyusunan RUU DIY yang mengungkit suksesi Gubernur di "monarki" Yogya.
Masih ada keistimewaan lainnya bagi Kota Pelajar ini. Yogyakarta juga menyimpan berbagai mitos yang masih "hidup" sampai saat ini, seperti Nyi Roro Kidul sebagai Ratu Pantai Selatan dan Ki Sapu Jagad Sang Penjaga Gunung Merapi.
Namun masih ada mitos Yogyakarta lainnya yakni, garis lurus yang membentang dari
ujung utara hingga selatan Yogyakarta. Mitos ini dipercaya ada hubungan antara Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan.
Garis lurus ini juga memosisikan Gunung Merapi menjadi batas utara Yogyakarta, batas Selatan di Pantai Selatan dan Kraton sebagai pusat atau pengaturnya.
Bila ditarik lebih jauh, yang mendasari terbentuknya garis ini sebenarnya bukan hanya 3-4 tempat tersebut. Kesemua tempat itu masing-masing memiliki mitos dan daya mistik. Lalu titik titik mana sajakah yang membentuk garis lurus itu. Gunung Merapi sebagai batas utara Yogyakarta dan disinilah garis lurus itu dimulai.
1. Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih (white paal), merupakan penanda batas utara kota tua Yogyakarta.
2. Malioboro, adalah suatu pusat perbelanjaan yang sejajar dengan jalan lurus dari Tugu Yogya menuju Keraton.
3. Alun-Alun Utara, selain berfungsi sebagai media pertemuan Sultan dengan Rakyatnya, di Alun-Alun Utara juga terdapat pohon beringin yang berjumlah 64 yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-Alun Utara menjadi lambangmakrokosmos dan mikrokosmos
4. Keraton Yogyakarta, atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental.
5. Plengkung Gading, yang bernama asli Plengkung Nirboyo merupakan pintu selatan dari Komplek Keraton Yogyakarta.
6. Panggung Krapyak, atau sering disebut Kandhang Menjangan dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari batu bata. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi berburu menjangan keluarga kerajaan.
7. Pantai Selatan (Cepuri), dengan mitosnya Nyi Roro Kidul memang sudah terkenal. Sedangkan Cepuri, yaitu tempat Upacara Labuhan Pantai Selatan yang terletak di Pantai Parangkusumo atau sebelah barat Parangtritis. Di sinilah garis itu berakhir.
KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA
Keistimewaan Yogyakarta - Inilah sedikit informasi tentang Keistimewaan Yogyakarta. Seperti kita ketahui bersama bahwa keistimewaan Yogyakarta sering menjadi pemberitaan hangat diberbagai media massa akhir-akhir ini terkait pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Sistem pemerintahan DIY tidak mungkin monarki.
Apa sebenarnya yang menjadi Keistimewaan Yogyakarta selama ini? Pernyataan itu mungkin sering terlintas dibenak kita, ketika mendengar pemberitaan tentang "Monarki di Yogyakarta". Karena penulis juga sering mempertanyakan tentang apa sebenarnya Istimewa Yogya dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, maka penulis mencoba mencari refrensi melalui media internet yang kemudian pencarian itu bermuara kesitus wikipedia.
Dari situs ini sedikit membantu penulis untuk memahami apa sebenarnya Keistimewaan Yogyakarta dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, dan berikut adalah sedikit gambaran yang berhasil penulis tangkap dari hasil membaca refrensi dari situs bersangkutan:
Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).
Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit.
Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.
Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Apa sebenarnya yang menjadi Keistimewaan Yogyakarta selama ini? Pernyataan itu mungkin sering terlintas dibenak kita, ketika mendengar pemberitaan tentang "Monarki di Yogyakarta". Karena penulis juga sering mempertanyakan tentang apa sebenarnya Istimewa Yogya dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, maka penulis mencoba mencari refrensi melalui media internet yang kemudian pencarian itu bermuara kesitus wikipedia.
Dari situs ini sedikit membantu penulis untuk memahami apa sebenarnya Keistimewaan Yogyakarta dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, dan berikut adalah sedikit gambaran yang berhasil penulis tangkap dari hasil membaca refrensi dari situs bersangkutan:
Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).
Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit.
Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.
Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
PARIWISATA BERBASIS BUDAYA
Kontroversi
Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat pro dan kontra.[3][sunting] Pariwisata Merusak Budaya
Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan hayati suatu produk budaya. [4] Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal. [4]Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata.[4] Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.[4] Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya[sunting] Pariwisata Memperkuat Budaya
Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini, namun banyak juga Sosiolog dan Antropolog yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali. McKean (1978) mengatakan, “... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.” Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing, 1974).[sunting] Tidak Ada Budaya Asli
Terlepas dari pro kontra diatas, Sosiolog Selo Soemardjan mengungkapkan pendapatnya.Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.[sunting] Perkembangan
Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman (wisatawan mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya. Pendapat tersebut tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata Indonesia pada tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisman dalam kategori ‘sangat menarik’ dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para turis dari pariwisata di Indonesia.[sunting] Pariwisata Berbasis Budaya di Indonesia
Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa provinsi. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah Daerah Istimewa Jogjakarta khususnya kota Jogjakarta. [5] Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya Jawa yang selaras dengan sejarah dan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas, memperbanyak event-event wisata, seni ,dan budaya, sampai ke optimalisasi pemasaran program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan Taman Pintar yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.[6][sunting] Rujukan
- ^ Oka A. Yoeti. Pariwisata Berbasis Budaya, Masalah dan Solusinya. PT.Pradnya Paramita. Jakarta. 1996.
- ^ a b c d e f g h i j k l m (en) Ritchie dan Zins. Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text. Chapter 19: Social and Cultural Impacts. Page 221
- ^ I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri.Sosiologi Pariwisata. Andi. Yogyakarta. 2005.
- ^ a b c d (en) Britton. Cultural expressionas are bastradized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism. Penerbit?. Kota? 1977. Hal. 272
- ^ [1]Situs Resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jogjakarta
- ^ [2]Situs Budaya melayu
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pariwisata_berbasis_budaya"
JEJAK ISLAM DI KERATON JOGJAKARTA
Yogyakarta atau sering disebut dengan Jogja sejak dulu dikenal sebagai kota pendidikan disamping sebagai kota gudeg. Hal ini nampak setidaknya dari keberadaan dua perguruan tinggi tertua di Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia. Namun, jika kita coba buka-buka catatan sejarah tentang Jogja. Ternyata Yogyakarta sebagai salah satu Daerah Istimewa di Indonesia, dibaliknya menyimpan banyak bukti keagungan Islam yang begitu agung namun sayang sering luput dari perhatian banyak orang. Bahkan adanya keraton Yogyakarta sesungguhnya merupakan salah satu bukti peninggalan yang menunjukkan besarnya pengaruh Islam di bumi Ngayogyakarta kala itu.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu kerajaan Demak di pindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, dan setelah Pajang jatuh kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi” (artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Sebagai tambahan. Bahwa dalam catatan para sejarawan. Pada abad ke-8 Yogyakarta dan sekitarnya merupakan pusat kerajaan Mataram dengan sebutan Rajya Medang I Bhumi Mataram atau kerajaan Medang dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini sempat pindah ke Jawa Timur pada abad 10 sebelum akhirnya runtuhnya pada awal abad 11. Agama yang dianut oleh kerajaan ini adalah Hindu. Oleh karenanya, untuk membedakan antara kerajaan Mataram abad 8 dan Mataram abad 16, maka ahli sejarah sering menyebutnya dengan kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno) dan kerajaan Mataram Islam.
Baik, kita lanjutkan perbincangan tentang kesultanan Yogyakarta ini. Berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani oleh Sunan Paku Buwana III serta Nicolaas Hartingh di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain, Kerajaan Mataram dibagi dua. Yaitu Kasunanan Surakarta yang di pimpin oleh Sunan Paku Buwono III sebagai rajanya dan Kesultanan Ngayoyakarta dimana Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I sebagai rajanya. Jika diamati dari sumber sejarah yang ada, akan terlihat bahwa perpecahan yang terjadi sesungguhnya merupakan strategi Belanda (VOC) untuk memecah belah kesultanan Islam saat itu, yaitu dengan mengangkat Pakubuwana I atau Pangeran Puger ((1704-1719) menjadi raja karena ketidaksukaannya pada raja Amangkurat III (1703-1708) yang saat itu berkuasa yang menentang VOC. Akibatnya Mataram memiliki dua raja yang akhirnya memicu perpecahan internal dan muncullah perjanjian Giyanti, yang sekaligus menandai runtuhnya era Kesultanan Mataram Islam sebagai kesatuan politik dan wilayah.
Jejak Islam Dalam Kehidupan Masyarakat Jogja
Tidak mudah untuk melacak jejak Islam yang telah dijalankan di wilayah Jogja karena keterbatasan catatan sejarah yang ada. Meski begitu kita akan coba menyusurinya melalui berbagai peninggalan Islam yang ada di Kraton Yogyakarta sebagai representasi kesultanan Mataram Islam saat itu.
Jogja seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma, Ksatria, Waisya dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda menyertai interaksi diantara mereka.
Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan di masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said) merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dengan kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M), juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah kesultanan Mataram di Yogyakarta.
Mengutip catatan Adaby Darban, dalam “Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah”. Pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I), dibangunlah keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol eksistensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda. Sebagaimana kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, di setiap keraton memiliki masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam membangun kebudayaan Islam termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan dengan para bawahannya dan masyarakat umum.
Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid yang diberi nama “Al-Mahkamah Al-Kabirah”, yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan ijab kabul, disamping tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Secara filosofis bangunan kota, keberadaan masjid merupakan bagian dari empat unsur yang pasti dimiliki oleh kerajaan Islam, yaitu : istana keraton, alun-alun, satu atau dua pohon beringin dan masjid yang membelakangi gunung dan menghadap laut dengan masjid di sisi Baratnya. Hal ini memiliki makna Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur. Alun-alun (berasal dari bahasa Arab, allaun yang artinya banyak macam atau warna) merupakan tempat yang di-setting sebagai tempat pertemuan rakyat dan penguasa. Adapun beringin, diambil dari kata waringin (bahasa Jawa baru) yang diserap dari bahasa Arab waraa’in yang artinya orang yang berhati-hati. Berjumlah dua merupakan perlambang sumber syariat Islam : Al Qur’an dan Hadits.
Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasehat Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi kerajaan. Mereka adalah orang-orang ‘alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Diantaranya adalah pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid maupun langgar-langgar proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka di dikirim ke Pondok Pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng, dan Gontor yang sepulangnya dari sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di keraton Yogyakarta. Hal ini menggambarkan bagaimana peran kerajaan (tepatnya kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.
Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang Islami. Disinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah– memberikan andil yang begitu besar. Maka hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah di Islamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga kini. Wayang sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Dimana wayang yang sudah ada sejak kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.
Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada perayaan Maulud Nabi di masjid Agung. Sedangkan grebeg yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara menghantarkan sultan dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulud Nabi Muhammad saw yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal istana lengkap dengan nasi gunungannya.
Begitulah kira-kira sekilas catatan sejarah yang menggambarkan jejak-jejak Islam di bumi Yogyakarta, yang mungkin telah menguap dari memori kaum muslimin. Ini juga sekaligus menjadi bukti bahwa keberadaan kesultanan-kesultanan di Indonesia termasuk Yogyakarta memiliki hubungan historis dengan keberadaan khilafah Islamiyah yang menjadi representasi kekuasaan Islam di dunia kala itu. Terlepas dari masih banyaknya percampuran antara budaya Islam dengan budaya jawa kuno yang masih nampak hingga kini, yang jelas kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu bukti otentik bahwa umat Islam Indonesia merupakan bagian dari umat Islam dunia sejak dahulu kala. Wallahu a’lam.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu kerajaan Demak di pindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, dan setelah Pajang jatuh kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi” (artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Sebagai tambahan. Bahwa dalam catatan para sejarawan. Pada abad ke-8 Yogyakarta dan sekitarnya merupakan pusat kerajaan Mataram dengan sebutan Rajya Medang I Bhumi Mataram atau kerajaan Medang dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini sempat pindah ke Jawa Timur pada abad 10 sebelum akhirnya runtuhnya pada awal abad 11. Agama yang dianut oleh kerajaan ini adalah Hindu. Oleh karenanya, untuk membedakan antara kerajaan Mataram abad 8 dan Mataram abad 16, maka ahli sejarah sering menyebutnya dengan kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno) dan kerajaan Mataram Islam.
Baik, kita lanjutkan perbincangan tentang kesultanan Yogyakarta ini. Berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani oleh Sunan Paku Buwana III serta Nicolaas Hartingh di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain, Kerajaan Mataram dibagi dua. Yaitu Kasunanan Surakarta yang di pimpin oleh Sunan Paku Buwono III sebagai rajanya dan Kesultanan Ngayoyakarta dimana Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I sebagai rajanya. Jika diamati dari sumber sejarah yang ada, akan terlihat bahwa perpecahan yang terjadi sesungguhnya merupakan strategi Belanda (VOC) untuk memecah belah kesultanan Islam saat itu, yaitu dengan mengangkat Pakubuwana I atau Pangeran Puger ((1704-1719) menjadi raja karena ketidaksukaannya pada raja Amangkurat III (1703-1708) yang saat itu berkuasa yang menentang VOC. Akibatnya Mataram memiliki dua raja yang akhirnya memicu perpecahan internal dan muncullah perjanjian Giyanti, yang sekaligus menandai runtuhnya era Kesultanan Mataram Islam sebagai kesatuan politik dan wilayah.
Jejak Islam Dalam Kehidupan Masyarakat Jogja
Tidak mudah untuk melacak jejak Islam yang telah dijalankan di wilayah Jogja karena keterbatasan catatan sejarah yang ada. Meski begitu kita akan coba menyusurinya melalui berbagai peninggalan Islam yang ada di Kraton Yogyakarta sebagai representasi kesultanan Mataram Islam saat itu.
Jogja seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma, Ksatria, Waisya dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda menyertai interaksi diantara mereka.
Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan di masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said) merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dengan kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M), juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah kesultanan Mataram di Yogyakarta.
Mengutip catatan Adaby Darban, dalam “Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah”. Pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I), dibangunlah keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol eksistensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda. Sebagaimana kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, di setiap keraton memiliki masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam membangun kebudayaan Islam termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan dengan para bawahannya dan masyarakat umum.
Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid yang diberi nama “Al-Mahkamah Al-Kabirah”, yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan ijab kabul, disamping tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Secara filosofis bangunan kota, keberadaan masjid merupakan bagian dari empat unsur yang pasti dimiliki oleh kerajaan Islam, yaitu : istana keraton, alun-alun, satu atau dua pohon beringin dan masjid yang membelakangi gunung dan menghadap laut dengan masjid di sisi Baratnya. Hal ini memiliki makna Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur. Alun-alun (berasal dari bahasa Arab, allaun yang artinya banyak macam atau warna) merupakan tempat yang di-setting sebagai tempat pertemuan rakyat dan penguasa. Adapun beringin, diambil dari kata waringin (bahasa Jawa baru) yang diserap dari bahasa Arab waraa’in yang artinya orang yang berhati-hati. Berjumlah dua merupakan perlambang sumber syariat Islam : Al Qur’an dan Hadits.
Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasehat Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi kerajaan. Mereka adalah orang-orang ‘alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Diantaranya adalah pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid maupun langgar-langgar proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka di dikirim ke Pondok Pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng, dan Gontor yang sepulangnya dari sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di keraton Yogyakarta. Hal ini menggambarkan bagaimana peran kerajaan (tepatnya kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.
Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang Islami. Disinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah– memberikan andil yang begitu besar. Maka hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah di Islamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga kini. Wayang sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Dimana wayang yang sudah ada sejak kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.
Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada perayaan Maulud Nabi di masjid Agung. Sedangkan grebeg yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara menghantarkan sultan dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulud Nabi Muhammad saw yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal istana lengkap dengan nasi gunungannya.
Begitulah kira-kira sekilas catatan sejarah yang menggambarkan jejak-jejak Islam di bumi Yogyakarta, yang mungkin telah menguap dari memori kaum muslimin. Ini juga sekaligus menjadi bukti bahwa keberadaan kesultanan-kesultanan di Indonesia termasuk Yogyakarta memiliki hubungan historis dengan keberadaan khilafah Islamiyah yang menjadi representasi kekuasaan Islam di dunia kala itu. Terlepas dari masih banyaknya percampuran antara budaya Islam dengan budaya jawa kuno yang masih nampak hingga kini, yang jelas kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu bukti otentik bahwa umat Islam Indonesia merupakan bagian dari umat Islam dunia sejak dahulu kala. Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)