Rabu, 05 Januari 2011

DRAFT RUU KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar merasa yakin banyak orang belum memahami substansi draft RUUK DIY. Bila mereka telah membaca, kata Patrialis, mereka akan paham bahwa pemerintah menempatkan keistimewaan Yogya pada posisi yang istimewa.

"Banyak orang belum mendapat info secara genuine," kata Patrialis saat ditanya soal hasil sidang DPRD DIY di Gedung DPR, Jakarta Selasa 14 Desember 2010.

Menurut Patrialis banyak orang menyikapi rencana draft RUUK DIY hanya melihat dari kulit lalu berkomentar. "Komentarnya juga kebanyakan provokasi. Pemerintah justru memberi keistimewaan yang berdasarkan sistem kukuh dan kuat," kata dia.

Lalu, apa saja keistimewaan dalam isi draft RUUK DIY? Inilah beberapa keistimewaan yang diungkapkan Patrialis:

a. Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam bertahta, walaupun tidak menjadi gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap jadi orang nomor satu dan kedua di Yogya.

b. Pemerintah Daerah yang terpilih harus meminta persetujuan apapun ke Sultan terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam menyusun anggaran pun harus meminta persetujuan Sultan.

c. Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur, maka pencalonan itu bersifat perorangan, tanpa melalui partai politik.

d. Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri, maka kerabat Keraton lainnya tidak boleh mencalonkan diri.

e. Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD tidak akan lagi melakukan pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka langsung dikukuhkan menjadi gubernur dan wakil gubernur.

f. Jika tidak terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku Alam adalah gubernur utama dan wakil gubernur utama. Posisi ini berada di atas gubernur/kepala daerah. Apapun kebijakan kepala daerah harus meminta persetujuan pada gubernur utama (Sultan) dan wakil gubernur utama (Paku Alam).

"Pokoknya, percayalah Yogya akan mendapat keistimewaan yang istimewa," kata Patrialis. Dengan draft di atas, pemerintah, kata Patrialis, justru menempatkan Sultan dan Paku Alam pada posisi tahta yang segala-galanya di Yogya.

Saat ini draft RUUK DIY tersebut sudah siap dan berada di Sekretariat Negara. Dia yakin dalam waktu dekat RUUK tersebut akan segera dikirim ke DPR.

OTONOMI KHUSUS DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Pendahuluan
Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan Hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam praktek hukum internasional dijabarkan dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Rumusan pasal 1 dari kedua kovenan ini ditujukan pada:
1. Masyarakat yang telah mendapatkan kemerdekaannya
2. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang berlum mendapat kemerdekaan
3. Masyarakat yang tinggal di sebuah negara yang berada di bawah pendudukan militer asing.
Istilah otonomi sendiri muncul dalam berbagai konteks hukum. Dalam hukum nasional otonomi adalah bagian dari pemerintahan sendiri dari sebuah institusi dan organisasi publik. Dalam hak ini termasuk kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya sendiri melalui pengesahan sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi berarti bahwa sebagian dari wilayah suatu negara diberikan kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara mengesahkan suatu undang-undang tanpa diikuti pembentukan usatu bangunan kenegaraan yang baru[1]. Menurut Lapidoth yang dikutip oleh Hans-Joachim Hentze terdapat beberapa konsep dari otonomi dalam konstruksi hukum yaitu :
1. as a right to act upon one’s own discretion in certain matters;
2. as a synonym of independence
3. as a synonym of decentralization
4. as exclusive powers of legislation, administration, and adjudication in specific areas of an autonomous entity
Secara prinsip, otonomi diberikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal-self government), sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerinthan pusat. Kemerdekaan ini hanya dapat ditetntukan melalui tingkatan otonomi dalam proses pengambilan keputusan politik.
Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori yaitu:
1. Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain
2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing
3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, social, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.
Adanya daerah otonomi dalam suatu negara (a self-governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyeleisan konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat utnuk menciptakan daerah otonomi sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government[2]. Untuk itu daerah otonomi harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya dalam suatu negara
Isi Dari Otonomi
Otonomi dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan konstruksi hukum antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui pengalihan kekuasaan legislative dari organ nefara kepada lembaga dari daerah otonomi tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu tertentu yang penting antara lain:
1. Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut
2. Daerah otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang mandiri
3. Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidkan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi
4. Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional
5. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
6. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah otonomi
7. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya[3]
Hukum Internasional memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan secara konstitusional dalam suatu negara dalam hal bentuk betuk sub sovereign status atau otonomi.
Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung
1. DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri
2. Kepala pemerintahan yang dipilih
3. Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan lokal
4. Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan pemerintah pusat[4]
Suatu wilayah otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangkan norma dasar dari suatu negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
Yogyakarta, Otonomi Khusus, dan Praktek Indonesia
Dalam konteks Indonesia, daerah otonomi khusus diatur dalam Pasal 18 B ayat (1) Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan:
PasaI 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan pengaturan baru ini, ada dua daerah (propinsi) yang diakui kekhususannya berkaitan dengan faktor sejarah ataupun politik, diantaranya adalah Papua melalui UU No 21 tahun 2001 dan Aceh melalui UU No 11 tahun 2006. Namun ada perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi khusus yang diperoleh oleh dua propinsi ini, sifat otonomi khusus untuk Papua lebih merupakan tindakan sepihak dari pemerintah pusat sementara untuk Aceh adalah buah kesepakatan dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kedua provinsi ini mendapatkan status otonomi khusus dengan sejarah panjang melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat yang otoriter.
Dalam Konteks Yogyakarta, adalah sebuah keistimewaan karena Yogyakarta secara sepihak menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Sesudah itu Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkembangan Keistimewaan Yogyakarta
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah menjadi UU No 19 Tahun 1950. Pemerintah DI Yogyakarta berdasarkan UU tersebut menikmati kewenangan antara lain:
1. Urusan Umum
2. Pemerintahan Umum.
3. Agraria.
4. Pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.
5. Pertanian, Perikanan dan koperasi.
6. Kehewanan.
7. Keradjinan, perdagangan dalam negeri dan perindustrian.
8. Perburuhan.
9. Sosial.
10. Pembagian (Distribusi).
11. Penerangan.
12. Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan
13. Kesehatan.
14. Lalu lintas dan angkutan bermotor.
15. Perusahaan.
Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini tidak tampak berbagai kewenangan khusus seperti yang telah dijabarkan oleh Hurst Hannum maupun oleh Lauri Hannikainen. Meski demikian sudah tampak berbagai kewenangan eksklusif dari Pemerintah DI Yogyakarta
Yang cukup menarik bahwa kedudukan penguasa kerajaan di Yogyakarta justru tidak diatur oleh kedua UU ini, secara politis ini berarti Pemerintah Pusat mengakui keduanya sebagai Penguasa dari DI Yogyakarta. Namun, dengan tidak adanya penjelasan secara hukum tentang posisi keduanya ini yang kemudian rentan dalam penafsiran tentang siapa yang berhak menduduki posisi eksekutif dalam pemerintahan di Yogyakarta. Dilema ini sudah muncul sejak meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DI Yogyakarta.
Dilema dari posisi dan keistimewaan dari Yogyakarta ini dicoba dijawab melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta yang dirancang oleh DPRD DI Yogyakarta. Untuk itu penting untuk melihat kewenangan yang digagas dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta ini.
No
Isi Otonomi
Pengaturan
1
Status Daerah Otonomi
Diatur melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta
2
Status dan Kewenangan DPRD
Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan eksklusif
3
Peradilan dan penegakan hukum
Diatur melalui UU nasional yang berlaku; tidak mempunyai kewenangan eksklusif
4
Perpajakan
Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif
5
Kerjasama Internasional
-; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif
6
Kewenangan Eksklusif
Pertanahan, Budaya serta kewenangan lain yang telah diatur melalui UU Otonomi Daerah
7
Pembagian Keuangan
Diatur melalui UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif
8
Kepala Eksekutif
Penetapan oleh DPRD Propinsi: hanya Sultan/Pakualam dan/atau kerabatnya yang berhak menduduki posisi eksekutif
Dari sisi pengaturan otonomi, tidak tampak adanya perbedaan antara keistimewaan yang akan dipunyai oleh Yogyakarta dengan otonomi yang dinikmati oleh propinsi yang lain yang tidak berstatus istimewa. Hal ini berbeda dengan status yang saat ini dinikmati oleh Aceh dan Papua. Keistimewaan Yogyakarta hanya tampak pada pengisian posisi kepala dan wakil kepala eksekutif di Yogyakarta yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam dan/atau kerabat kerajaan dan juga kewenangan di bidang pertanahan (yang dikenal dengan sultan grond) dan juga budaya.
Dari sisi hukum akan sangat sayang apabila keistimewaan Yogyakarta hanya istimewa di tiga isu tersebut, karena sangat banyak kekhasan yang bisa diatur melalui UU Keistimewaan Yogyakarta. RUU Keistimewaan Yogyakarta dapat dinyatakan sebagai low degree of autonomy


KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA TERANCAM HILANG

ika Sri Sultan Hamengku Buwono X benar-benar mundur dari posisi sebagai Gubernur DIY, keistimewaan Yogyakarta terancam hilang.
"Sementara belum ada kejelasan siapa penggantinya, apakah dari trah (kerabat) kesultanan atau tokoh dari luar kraton," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Priyo Budi Santoso, di Jakarta, Jumat.
Dia mengungkapkan ini, menanggapi sebuah pernyataan mengejutkan dari Sri Sultan yang kemungkinan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Atas pernyataan ini, Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Dr Subadi Sumanto dan warga bereaksi kencang, dengan menganggap, tanpa Sultan disertai kewenangan politik serta pemerintahan, fungsi pengayom rakyat hilang, begitu juga keistimewaan Yogya amblas.
Priyo Budi Santoso agak sependapat dengan kekhawatiran warga di sana.
"Betul itu. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta akan punah, kalau Sultan benar-benar mundur dari posisi sekarang ini, sementara belum ada kejelasan siapa penggantinya," katanya.
Karena itu, Priyo Budi Santoso mengusulkan, agar Undang Undang (UU) tentang Yogyakarta perlu segera dirumuskan, guna memberi payung hukum serta politik terhadap status serta posisinya ke depan. 

MITOS KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA


okefood   |   okeklasika   |   myzone   |   okezone.tv   |   dahsyat   |   photo   |   suar   |   surat pembaca   |   okeinfo   |   Natal & Tahun Baru
  Kamis, 06 Januari 2011 | 11:26:01
o1 o2

Nasional


Inilah Mitos Keistimewaan Yogyakarta

Kamis, 2 Desember 2010 - 08:05 wib
Dadan Muhammad Ramdan - Okezone
Ilustrasi (Ist)
JAKARTA - Yogyakarta memang berbeda dan istimewa dari daerah-daerahnya lainnya di Indonesia. Yogyakarta dengan segala keistimewaan dan kekhasannya itu, sebenarnya tidak hanya menyangkut tahta Sri Sultan Hamengkubuwono X seumur hidup dan merangkap kepala pemerintahan daerah. Kini posisi itu berpolemik menyusul penyusunan RUU DIY yang mengungkit suksesi Gubernur di "monarki" Yogya.

Masih ada keistimewaan lainnya bagi Kota Pelajar ini. Yogyakarta juga menyimpan berbagai mitos yang masih "hidup" sampai saat ini, seperti Nyi Roro Kidul sebagai Ratu Pantai Selatan dan Ki Sapu Jagad Sang Penjaga Gunung Merapi.

Namun masih ada mitos Yogyakarta lainnya yakni, garis lurus yang membentang dari
ujung utara hingga selatan Yogyakarta. Mitos ini dipercaya ada hubungan antara Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan.

Garis lurus ini juga memosisikan Gunung Merapi menjadi batas utara Yogyakarta, batas Selatan di Pantai Selatan dan Kraton sebagai pusat atau pengaturnya.

Bila ditarik lebih jauh, yang mendasari terbentuknya garis ini sebenarnya bukan hanya 3-4 tempat tersebut. Kesemua tempat itu masing-masing memiliki mitos dan daya mistik. Lalu titik titik mana sajakah yang membentuk garis lurus itu. Gunung Merapi sebagai batas utara Yogyakarta dan disinilah garis lurus itu dimulai.

1. Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih (white paal), merupakan penanda batas utara kota tua Yogyakarta.

2. Malioboro, adalah suatu pusat perbelanjaan yang sejajar dengan jalan lurus dari Tugu Yogya menuju Keraton.

3. Alun-Alun Utara, selain berfungsi sebagai media pertemuan Sultan dengan Rakyatnya, di Alun-Alun Utara juga terdapat pohon beringin yang berjumlah 64 yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-Alun Utara menjadi lambangmakrokosmos dan mikrokosmos

4. Keraton Yogyakarta, atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental.

5. Plengkung Gading, yang bernama asli Plengkung Nirboyo merupakan pintu selatan dari Komplek  Keraton Yogyakarta.

6. Panggung Krapyak, atau sering disebut Kandhang Menjangan dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari batu bata. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi berburu menjangan keluarga kerajaan.

7. Pantai Selatan (Cepuri), dengan mitosnya Nyi Roro Kidul memang sudah terkenal. Sedangkan Cepuri, yaitu tempat Upacara Labuhan Pantai Selatan yang terletak di Pantai Parangkusumo atau sebelah barat Parangtritis. Di sinilah garis itu berakhir.

KEISTIMEWAAN JOGJAKARTA

Keistimewaan Yogyakarta - Inilah sedikit informasi tentang Keistimewaan Yogyakarta. Seperti kita ketahui bersama bahwa keistimewaan Yogyakarta sering menjadi pemberitaan hangat diberbagai media massa akhir-akhir ini terkait pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Sistem pemerintahan DIY tidak mungkin monarki.

Apa sebenarnya yang menjadi Keistimewaan Yogyakarta selama ini? Pernyataan itu mungkin sering terlintas dibenak kita, ketika mendengar pemberitaan tentang "Monarki di Yogyakarta". Karena penulis juga sering mempertanyakan tentang apa sebenarnya Istimewa Yogya dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, maka penulis mencoba mencari refrensi melalui media internet yang kemudian pencarian itu bermuara kesitus wikipedia.

Dari situs ini sedikit membantu penulis untuk memahami apa sebenarnya Keistimewaan Yogyakarta dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, dan berikut adalah sedikit gambaran yang berhasil penulis tangkap dari hasil membaca refrensi dari situs bersangkutan:

Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).

Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.

Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.

Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.

Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.

Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.

Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.

Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit.

Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.

Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.

Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).

PARIWISATA BERBASIS BUDAYA

Kontroversi

Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat pro dan kontra.[3]

[sunting] Pariwisata Merusak Budaya

Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan hayati suatu produk budaya. [4] Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal. [4]Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata.[4] Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.[4] Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya

[sunting] Pariwisata Memperkuat Budaya

Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini, namun banyak juga Sosiolog dan Antropolog yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali. McKean (1978) mengatakan, “... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.” Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing, 1974).

[sunting] Tidak Ada Budaya Asli

Terlepas dari pro kontra diatas, Sosiolog Selo Soemardjan mengungkapkan pendapatnya.Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

[sunting] Perkembangan

Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman (wisatawan mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya. Pendapat tersebut tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata Indonesia pada tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisman dalam kategori ‘sangat menarik’ dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para turis dari pariwisata di Indonesia.

[sunting] Pariwisata Berbasis Budaya di Indonesia

Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa provinsi. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah Daerah Istimewa Jogjakarta khususnya kota Jogjakarta. [5] Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya Jawa yang selaras dengan sejarah dan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas, memperbanyak event-event wisata, seni ,dan budaya, sampai ke optimalisasi pemasaran program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan Taman Pintar yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.[6]

[sunting] Rujukan

  1. ^ Oka A. Yoeti. Pariwisata Berbasis Budaya, Masalah dan Solusinya. PT.Pradnya Paramita. Jakarta. 1996.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m (en) Ritchie dan Zins. Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text. Chapter 19: Social and Cultural Impacts. Page 221
  3. ^ I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri.Sosiologi Pariwisata. Andi. Yogyakarta. 2005.
  4. ^ a b c d (en) Britton. Cultural expressionas are bastradized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism. Penerbit?. Kota? 1977. Hal. 272
  5. ^ [1]Situs Resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jogjakarta
  6. ^ [2]Situs Budaya melayu

JEJAK ISLAM DI KERATON JOGJAKARTA

Yogyakarta atau sering disebut dengan Jogja sejak dulu dikenal sebagai kota pendidikan disamping sebagai kota gudeg. Hal ini nampak setidaknya dari keberadaan dua perguruan tinggi tertua di Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia. Namun, jika kita coba buka-buka catatan sejarah tentang Jogja. Ternyata Yogyakarta sebagai salah satu Daerah Istimewa di Indonesia, dibaliknya menyimpan banyak bukti keagungan Islam yang begitu agung namun sayang sering luput dari perhatian banyak orang. Bahkan adanya keraton Yogyakarta sesungguhnya merupakan salah satu bukti peninggalan yang menunjukkan besarnya pengaruh Islam di bumi Ngayogyakarta kala itu.

Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu kerajaan Demak di pindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, dan setelah Pajang jatuh kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi” (artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.

Sebagai tambahan. Bahwa dalam catatan para sejarawan. Pada abad ke-8 Yogyakarta dan sekitarnya merupakan pusat kerajaan Mataram dengan sebutan Rajya Medang I Bhumi Mataram atau kerajaan Medang dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini sempat pindah ke Jawa Timur pada abad 10 sebelum akhirnya runtuhnya pada awal abad 11. Agama yang dianut oleh kerajaan ini adalah Hindu. Oleh karenanya, untuk membedakan antara kerajaan Mataram abad 8 dan Mataram abad 16, maka ahli sejarah sering menyebutnya dengan kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno) dan kerajaan Mataram Islam.

Baik, kita lanjutkan perbincangan tentang kesultanan Yogyakarta ini. Berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani oleh Sunan Paku Buwana III serta Nicolaas Hartingh di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain, Kerajaan Mataram dibagi dua. Yaitu Kasunanan Surakarta yang di pimpin oleh Sunan Paku Buwono III sebagai rajanya dan Kesultanan Ngayoyakarta dimana Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I sebagai rajanya. Jika diamati dari sumber sejarah yang ada, akan terlihat bahwa perpecahan yang terjadi sesungguhnya merupakan strategi Belanda (VOC) untuk memecah belah kesultanan Islam saat itu, yaitu dengan mengangkat Pakubuwana I atau Pangeran Puger ((1704-1719) menjadi raja karena ketidaksukaannya pada raja Amangkurat III (1703-1708) yang saat itu berkuasa yang menentang VOC. Akibatnya Mataram memiliki dua raja yang akhirnya memicu perpecahan internal dan muncullah perjanjian Giyanti, yang sekaligus menandai runtuhnya era Kesultanan Mataram Islam sebagai kesatuan politik dan wilayah.

Jejak Islam Dalam Kehidupan Masyarakat Jogja
Tidak mudah untuk melacak jejak Islam yang telah dijalankan di wilayah Jogja karena keterbatasan catatan sejarah yang ada. Meski begitu kita akan coba menyusurinya melalui berbagai peninggalan Islam yang ada di Kraton Yogyakarta sebagai representasi kesultanan Mataram Islam saat itu.

Jogja seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma, Ksatria, Waisya dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda menyertai interaksi diantara mereka.

Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan di masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said) merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dengan kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M), juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah kesultanan Mataram di Yogyakarta.

Mengutip catatan Adaby Darban, dalam “Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah”. Pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I), dibangunlah keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol eksistensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda. Sebagaimana kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, di setiap keraton memiliki masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam membangun kebudayaan Islam termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan dengan para bawahannya dan masyarakat umum.

Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid yang diberi nama “Al-Mahkamah Al-Kabirah”, yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan ijab kabul, disamping tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.

Secara filosofis bangunan kota, keberadaan masjid merupakan bagian dari empat unsur yang pasti dimiliki oleh kerajaan Islam, yaitu : istana keraton, alun-alun, satu atau dua pohon beringin dan masjid yang membelakangi gunung dan menghadap laut dengan masjid di sisi Baratnya. Hal ini memiliki makna Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur. Alun-alun (berasal dari bahasa Arab, allaun yang artinya banyak macam atau warna) merupakan tempat yang di-setting sebagai tempat pertemuan rakyat dan penguasa. Adapun beringin, diambil dari kata waringin (bahasa Jawa baru) yang diserap dari bahasa Arab waraa’in yang artinya orang yang berhati-hati. Berjumlah dua merupakan perlambang sumber syariat Islam : Al Qur’an dan Hadits.

Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasehat Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi kerajaan. Mereka adalah orang-orang ‘alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Diantaranya adalah pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid maupun langgar-langgar proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka di dikirim ke Pondok Pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng, dan Gontor yang sepulangnya dari sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di keraton Yogyakarta. Hal ini menggambarkan bagaimana peran kerajaan (tepatnya kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.

Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang Islami. Disinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah– memberikan andil yang begitu besar. Maka hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah di Islamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga kini. Wayang sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Dimana wayang yang sudah ada sejak kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.

Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada perayaan Maulud Nabi di masjid Agung. Sedangkan grebeg yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara menghantarkan sultan dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulud Nabi Muhammad saw yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal istana lengkap dengan nasi gunungannya.

Begitulah kira-kira sekilas catatan sejarah yang menggambarkan jejak-jejak Islam di bumi Yogyakarta, yang mungkin telah menguap dari memori kaum muslimin. Ini juga sekaligus menjadi bukti bahwa keberadaan kesultanan-kesultanan di Indonesia termasuk Yogyakarta memiliki hubungan historis dengan keberadaan khilafah Islamiyah yang menjadi representasi kekuasaan Islam di dunia kala itu. Terlepas dari masih banyaknya percampuran antara budaya Islam dengan budaya jawa kuno yang masih nampak hingga kini, yang jelas kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu bukti otentik bahwa umat Islam Indonesia merupakan bagian dari umat Islam dunia sejak dahulu kala. Wallahu a’lam.

Minggu, 02 Januari 2011

HAMBATAN DALAM BELAJAR

Berapakah presentasi hambatan anda?
Caranya; jumlah hambatan yang anda alami yang ada dibawah ini pilih lah, kemudian di bagi 25 dan kali 100%. Kecil, Cukup besar, atau malah Besar???? Temukan jawabanya!!!

A. Hambatan dari dalam dirinya

1. Hambatan kesehatan fisik
a. Kondisi fisik lemah.
b. Pernah mengalami penyakit kronis.
c. Sering sakit-sakitan. Misal; pusing dll.
d. Indra penglihatan kurang berfungsi dengan baik.
e. Suara mengalami gangguan.

2. Hambatan dari psikis/jiwa
a. Kurang konsentrasi.
b. Tidak mempunyai semangat belajar.
c. Belajar tidak rutin.
d. Tidak punya prinsip.
e. Tidak disiplin.
f. Kurang percaya diri.
g. Tidak bias jujur.
h. Sering tergoda untuk menyontek.
i. Tidak mempunyai cita-cita kedepan.

B. Hambatan yang datang dari luar.

1. Hambatan dari keadaan keluarga.
a. Ekonomi kurang.
b. Suana di rumah selalu gaduh.
c. Hubungan orang tua tidak harmonis sering cek-cok.
d. Orang tua sangat otoriter.

2. Hambatan dari pengaruh hiburan dan media massa.
a. Nonton TV, film, dll.
b. Main PS
c. Membaca majalah atau tabloid hiburan.
d. Terlalu banyak kegiatan atau Ekskul.
e. Main computer atau internet.

3. Hambatan dari pengaruh teman dalam pergaulan.
a. Waktu belajar tersita untuk ngobrol, main dan jalan-jalan.
b. Tidak berani menolak ajakan teman tentang hal-hal yg nagatif .


Cara Mengatasi Hambatan:
• Mulailah dari diri sendiri untuk melakukan perubahan, jangna menunggu orang lain atau di suruh.
• Kerjakanlah mulai dari hal2 yang kecil dan mudah terlebih dahulu dan kehal2 yang lebih besar dan sulit.
• Mulailah melakukannya sekarang juga tidak usah ditunda sedikitpun.



ISBN:HAMBATAN BELAJAR

Belajar adalah kebutuhan dasar bagi seorang manusia. Seorang manusia yang baik, tentunya akan selalu belajar setiap saat. Tetapi sayangnya, belajar bagi sebagian dari kita adalah sesuatu hal yang berat. Pada artikel ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan belajar menjadi sesuatu yang berat. Belajar yang dimaksud dalam artikel ini adalah belajar untuk kepentingan akademik, walaupun beberapa alasan berkaitan dengan alasan umum mengenai keengganan belajar.
Banyak hal yang dapat menghambat belajar, sehingga terkesan belajar adalah sesuatu yang berat dan belajar adalah hal yang tidak menyenangkan, atau bahkan merasa tertekan ketika harus belajar. Apa sebenarnya yang membuat belajar menjadi momok bagi sebagian orang? Bukankah seharusnya belajar adalah sesuatu yang menyenangkan? Bagaimana agar belajar menjadi suatu kebutuhan dan merasa nyaman dengan belajar?
Banyak hal yang bisa kita gali dari pertanyaan, hambatan-hambatan apa saja yang menyebabkan belajar menjadi momok bagi sebagain orang? Alasan apa yang mengakibatkan belajar adalah suatu hal yang berat? Ketika dihadapkan dengan pertanyaan ini, akan timbul beberapa ide, yang sebenarnya alasan mengapa kita enggan belajar. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa hambatan umum dalam belajar bagi sebagian orang.

Hambatan belajar yang mengakibatkan belajar adalah sesuatu yang berat boleh jadi berasal dari diri si pembelajar, hambatan ini kemudian disebut sebagai hambatan internal. Dan boleh jadi, hambatan belajar yang mengakibatkan belajar adalah sesuatu yang berat berasal dari lingkungan tempat si pembelelajar atau dari luar diri si pembelajar, hal ini kemudian disebut sebagai hambatan eksternal.
Hambatan internal adalah faktor-faktor yang menyebabkan belajar adalah sesuatu yang berat yang berasal dari dalam pembelajar.
Pertama adalah kondisi psikologis saat Anda belajar. Saat Anda belajar, seharusnya Anda berada dalam keadaan yang rileks dan siap menerima materi pelajaran. Kondisi ini diibaratkan sebuah gelas kosong siap diisi air. Gelas kosong tersebut tentunya dalam keadaan tidak terbalik. Jika gelas kosong dalam keadaan terbalik, maka air yang dikucurkan tidak pernah akan masuk ke dalam gelas. Kondisi gelas yang benar diibaratkan konsidi psikologis Anda yang siap belajar, siap menerima kucuran ilmu. Sedangkan kondisi gelas yang terbalik itu diibaratkan kondisi ketika Anda tidak siap belajar, dan Anda tidak akan mendapatkan ilmu ketika Anda paksakan belajar.
Kedua, kejenuhan belajar. Pernahkan Anda merasakan kejenuhan dalam belajar? Apa yang Anda rasakan ketika Anda dalam keadaan jenuh dan dipaksakan untuk belajar? Apakah materi yang Anda pelajari Anda fahami? Lalu sebenarnya apa sih jenuh dalam belajar itu? Bagaimana cara menguranginya atau bahkan menghilang kejenuhan dalam belajar?
Jenuh dalam belajar berarti belajar dalam waktu tertentu tetapi tidak mendatangkan hasil. Anda membaca, tetapi Anda tidak memahami apa yang Anda baca. Anda mendengar, tetapi pendengaran Anda hanya sebatas mendengar saja, tidak merekam, masuk kiri keluar kanan. Singkatnya, ketika Anda dalam keadaan jenuh, akan sangat sulit untuk mencapai kondisi konsentrasi, artinya tidak ada kerjasama yang baik antara indra yang terlibat dalam belajar dengan otak.
Muhibbin Syah dalam bukunya yang berjudul Psikologi Belajar menyatakan bahwa “penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda si pembelajar, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada pembelajar yang bersangkutan”. Menghindari keletihan adalah hal yang paling disarankan, agar ketika Anda belajar, berada pada kondisi yang benar-benar siap belajar. Kemudian jika keletihan telah melanda Anda, apa yang harus dilakukan atau jika hal itu belum muncul, apa yang bisa dilakukan untuk menghindarinya. Pada buku yang sama Muhibbin Syah menyarankan beberapa kiat yang dapat dilakukan, yaitu :
  • melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan mimuman yang bergizi dengan takaran yang lebih.
  • penjadwalan ulang kegiatan rutin Anda.
  • pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar.
Ketiga, tidak menyenangi subjek yang sedang dipelajari. Ketika Anda hendak mempelajari sesuatu, maka perasaan senang dululah yang terlebih dahulu Anda munculkan terhadap subjek yang akan dipelajari. Ketika muncul rasa tidak senang dalam diri Anda untuk mempelajari sesuatu, maka secara tidak sadar Anda telah menggerakkan otak Anda untuk menolak segala sesuatu yang berkaitan dengan subjek yang akan Anda pelajari.
Keempat, Tidak mengetahui manfaat yang sedang dipelajari. Setelah Anda menyenangi suatu pelajaran, maka tidak berhenti disitu saja. Jika Anda berpatokan ketika Anda menyenangi suatu pelajaran, maka Anda tidak akan merasa kesulitan dalam belajar, Anda salah total. Setelah Anda menyenanginya, Anda harus mencari tahu apa manfaat mempelajari suatu materi pelajaran untuk diri Anda. Tanyakan pada diri Anda pertanyaan-pertanyaan berikut. Apa yang akan saya dapatkan jika saya mempelajari ini? Apakah pengetahuan yang saya dapatkan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari? Buat sebanyak mungkin kemungkinan jawaban, semakin banyak jawaban yang Anda buat, maka akan semakin membangkitkan motivasi dalam diri Anda.
Kelima, tingkat Intelektualitas. Faktor ini sebenarnya tidak mutlak menjadi hambat belajar. Semua manusia dilahirkan dengan membawa sebuah senjata berfikir yang sangat dasyat, otak. Tingkat intelektualitas bisa ditingkatkan dengan berbagai macam cara. Tinggal niatnya saja. Satu hal yang harus Anda ingat, bahwa dengan rajin, maka hambatan yang satu ini dapat dengan mudah untuk dienyahkan.
Gangguan-gangguan yang berasal dari luar individu si pembelajar dalam proses belajar disebut hambatan eksternal. Hambatan-hambatan ini sebisa mungkin dihindarkan atau setidaknya diminimalisir, sehingga proses belajar dalam berjalan dengan baik.
Pertama, Faktor lingkungan, berupa lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Karakter Anda akan dibentuk oleh lingkungan, bukan oleh faktor genetis. Walaupun berperan, faktor genetis, persentasinya cukup kecil untuk membentuk karakter Anda.
Lingkungan yang pertama kali Anda kenal dalam kehidupan Anda adalah lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluargalah, waktu kecil Anda habiskan. Jika kita kalkulasi jumlah waktu yang Anda habiskan dalam lingkungan keluarga, ternyata menempati porsi yang cukup besar. Jika lingkungan keluarga tidak kondusif untuk belajar, maka akan menjadi ancaman untuk kelangsungan prestasi akademik Anda. Banyak hal yang menyebabkan lingkungan keluarga menjadi tidak kondusif, diantara, orangtua yang kurang akur, perlakukan orangtua yang kurang bijak, suasana rumah yang terlalu gaduh karena banyaknya penghuni rumah dan banyak masalah lain yang menyebabkan Anda kesulitan belajar di lingkungan keluarga (rumah). Salah satu solusinya adalah, ketika Anda hendak belajar, sebaiknya Anda mencari tempat lain yang mendukung untuk belajar, misalnya jika disekitar rumah Anda terdapat masjid, Anda bisa gunakan salah satu sudut masjid untuk belajar, atau Anda bisa pergi ke perpustakaan daerah di kota Anda, atau Anda bisa ‘nebeng’ di rumah sabahat Anda, sekaligus Anda akan mendapatkan teman diskusi. Niscaya tempat-tempat tersebut akan lebih baik.
Lingkungan yang selanjutnya adalah lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan inilah Anda berinteraksi lebih luas. Dalam lingkungan inilah Anda bergaul dengan teman-teman sebaya Anda. Faktor lingkungan yang mempengaruhi belajar Anda adalah lingkungan itu sendiri dan teman-teman Anda. Lingkungan yang selalu bersih, tentunya berbeda dengan lingkungan yang kumuh. Anda akan nyaman dimana? Tentunya akan lebih nyaman jika berada di lingkungan yang bersih. Ini akan mempengaruhi kondisi psikologis Anda ketika melakukan sesuatu, termasuk belajar. Teman-teman Anda turut andil dalam membentuk karakter Anda. Jika Anda berteman dengan ‘berandalan’ maka Anda lambat laun menjadi seperti mereka. Tetapi sebaliknya jika Anda berteman dengan orang-orang yang selalu mendorong Anda untuk menjadi lebih baik, maka lambat laun Anda akan menjadi seperti mereka. Jadi berhati-hatilah memilih teman. Sekedar kenal tidak mengapa, tetapi jika harus sampai menjadi bagian dari mereka, pikirkan dahulu baik buruknya.
Lingkungan sekolah yang kurang baik juga akan mengakibatkan belajar menjadi sesuatu yang berat. Lingkungan sekolah yang dekat dengan pasar, terminal atau fasilitas umum lainnya yang banyak mengundang massa akan mengganggu kegiatan belajar. Selain itu kondisi bangunan yang rusak, akan membagi konsentrasi Anda ketika belajar. Faktor kualitas alat peraga –laboratorium– setidaknya untuk beberapa mata pelajaran adalah hal yang sangat penting.
Kedua, Guru yang kurang baik. Perlu dijelaskan disini, bahwa guru yang baik adalah bukan guru yang jenius. Anda mungkin pernah mendapatkan seorang guru yang katanya terlalu pintar, sehingga ketika Anda mengikuti pelajarannya yang terjadi adalah bingung, karena sang guru hanya berbicara dengan papan tulis. Bukan seperti itu guru yang baik. Guru yang baik justru guru yang dapat mentransferkan ilmu yang dimilikikan kepada Anda sebagai anak didiknya. Mentransferkan ilmu yang saya maksud adalah beliau mempunyai kemampuan untuk membuat anak didiknya menjadi paham terhadap subjek yang sedang dipelajari.
Ada sebagian siswa yang mendefinisikan guru yang baik adalah guru yang dengan mudah memberi nilai bagus kepada siswanya. Ini jelas keliru, jika hal ini terjadi, maka sang guru telah menodai kesucian pendidikan. Nilai hanya sebuah ukuran, dan nilai itu ditentukan oleh Anda sebagai siswa bukan oleh guru. Tugas guru hanya mengolah nilai bukan menentukan nilai. Jadi jika ingin mendapatkan nilai bagus untuk nilai raport Anda, maka berjuanglah untuk mendapatkan nilai bagus disetiap ujian.
Selain itu juga kondisi emosional guru, akan mempengaruhi berat tidaknya belajar yang Anda lakukan. Ada guru yang –oleh sebagian siswa diistilahkan dengan guru ‘killer’. Jika Anda mendapatkan guru yang demikian, ini akan mengakibatkan Anda enggan untuk berurusan dengannya. Dan akibatnya Anda akan cari aman. Belajar dengan guru seperti ini ada untung dan ada ruginya. Keuntungannya, walaupun terkadang Anda tidak merasakannya adalah Anda akan terpacu belajarnya, karena takut berurusan dengannya. Sedangkan kerugiannya adalah suasana belajar di kelas yang tegang. Untuk menghadapi hal-hal demikian, berpikir positiflah. Sebab tidak semua guru berkelakuan demikian, hanya beberapa saja. Jika Anda mendapatkan guru demikian, lihat sisi positifnya saja, jangan diambil pusing.
Ketiga, tidak ada bahan (materi) yang memadai. Bahan atau materi yang akan dipelajari mutlak harus tersedia. Bahan atau materi bisa didapatkan dari berbagai sumber, misalnya buku, media masa, halaman web ataupun dari pakar yang berkompeten dalam subjek yang akan Anda pelajari. Ketiadaan sumber materi akan menghambat proses belajar Anda.
Keempat, tingkat kesukaran subjek yang dipelajari. Pernahkan Anda berpikir, bahwa ketika Anda duduk di bangku SD merasa kesulitan untuk mempelajari suatu mata pelajaran. Sekarang, buka kembali catatan tentang subjek yang dulu Anda pelajari itu, dan pelajarilah. Bagaimana? Masih merasa kesulitan. Saya kira Anda akan mengatakan bahwa itu adalah hal yang cukup mudah.
Tingkat kesukaran subjek yang Anda pelajari ternyata adalah hal relatif. Maksudnya, jika menurut Anda hal itu adalah sesuatu yang sulit, rumit, memusingkan, maka menurut teman Anda mungkin itu adalah sesuatu yang mudah dan sederhana.
Jika suatu materi pelajaran yang menurut Anda sulit, tentunya hal ini Anda simpulkan setelah Anda mati-matian mempelajarinya, maka segera lakukan diskusi dengan teman, guru atau siapapun yang bisa Anda ajak diskusi guna memecahkan kebuntuan yang ada.
Kelima, faktor ekonomi. Banyak saudara kita yang terhimpit beban ekonomi yang kian mencekik, dengan terpaksa mengorbankan belajar untuk membantu orang tua. Banyak kita saksikan, mereka yang kekurangan dalam hal ekonomi mempunyai semangat belajar yang sangat tinggi. Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi Anda yang hidup berkecukupan. Jangan sia-siakan setiap kesempatan belajar yang ada. Apa yang akan Anda lakukan jika Anda berada dalam posisi mereka?